Jumat, 15 Maret 2013

hargai orang lain sebagaimana anda ingin dihargai



Pada dasarnya manusia itu sama. sama-sama harus menghargai dan sama-sama ingin dihargai. Hak dan kewajiban harus berjalan seimbang. Jika tidak kekacauan akan terjadi dimana-mana. Kehidupan bergejolak bahkan masalah-masalah yang timbul semakin rancau dan sulit untuk dipecahkan. Misalnya, saja jika kita berada pada sebuah diskusi. Mau tak mau kita harus mau menghargai pendapat orang lain jika pendapat kita mau dihargai. Maka dari itu, terciptalah hukum yang sering kita sebut dengan hukum karma. Berlaku ketika seseorang bertindak kepada orang lain akan mendapatkan pula balasan sesuai yang pernah dia lakukan.
Setiap manusia memiliki keinginan untuk dihargai oleh orang lain. Sebagaimana hak asasi mereka yang harus mereka dapatkan. Tak memandang apa pun profesi mereka. Kepala sekolah, guru, murid atau bahkan pengemis mereka adalah manusia yang normal. Yang ingin dihargai oleh setiap orang dan di setiap keadaan. Caranya tidak sulit. Hanya dengan mengucapkan terimakasih atau hanya sekedar senyum kepadanya.
“senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR. As Syaikhan)
Menghargai orang lain tidak memerlukan energi yang banyak, tidak memerlukan materi, justru akan semakin memperbesar energi yang kita punya, akan semakin banyak kesempatan kita untuk berkontribusi positif terhadap orang lain, cukup dengan senyum, cukup dengan ucapan terima kasih. Hanya dengan itu, kita telah membuat percaya orang lain. Siapapun dia, seburuk apapun sikap dia sebelumnya ke kita.
Suatu ketika saya melihat seorang anak yang menindas teman sebayanya. Ketika ditanya mengapa dia menjawab karena dia lemah dan dia tak mau mengerjakan tugas untuknya. Apakah itu sebuah jawaban yang rasional? Kita hidup bukan dijaman jahiliyah. Dimana yang kuat selalu menjadi pemenang. Kita diciptakan sebagai pemikir yang memiliki kecerdasan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Bukan seperti hewan yang tak berpikir dalam mengambil keputusan. Dimana kita bisa menghargai maka disitu pula kita bisa dihargai oleh orang lain.
Sebagian besar orang percaya bahwa semua yang dia dapatkan adalah hasil yang dia tanam. Saya tertegun ketika saya bertanya pada si anak yang ditindas oleh temannya apakah dia marah? Mengapa dia tak membalas? dia berucap, “semua pasti akan ada balasannya. Jikalau bukan dari saya mungkin dari Allah SWT.”

1265-berhentilah-menghakimi-orang-lain-dan-mulailah-untuk-menghargai_380x280_width.png














Maka, mulai dari sekarang, kepada siapapun, dimana pun kita berpijak, hargailah mereka jika mereka lebih tua dari pada anda perlakukan mereka layaknya orangtua anda sendiri, jika mereka sebaya dengan anda berpikirlah bahwa apa yang mereka rasakan pasti juga akan anda rasakan, dan jika mereka lebih muda dibanding anda anggaplah mereka sebagai adik anda yang harus anda lindungi kasihi dan tak lupa anda hargai. Semoga sikap tersebut mengubah cara anda untuk melangkah dan menoleh pada orang lain...

Menghargai orang lain berarti menghargai diri sendiri..


Senin, 11 Maret 2013

pertemuan di tengah bintang



Ku terbangun dalam  tidurku. Terdiam di tengah rerumputan nan luas. Diamanakah aku sekarang?? Apakah aku berada di alam lain? Mungkin. Ku berjalan menyusuri rerumputan yang menurutku tak punya ujung itu. Ku tengok sekelilingku. Sepi. Senyap. Tak ada satupun orang disana. Aku takut. Aku berlari menepi ke sebuah pohon yang hanya satu-satunya di tempat itu. Sejenak ku terbelalak menatap sesuatu di balik pohon itu. Alangkah tampannya lelaki di tepi danau itu. Siapakah gerangan? Dia berpakaian putih bersih, layaknya malaikat yang turun dari langit. Ku dekati sosok lelaki tersebut. “Hai.” Sapaku. Lelaki itu tak menjawab, hanya menoleh kepadaku. Namun sayang, saat kucoba memperhatikan wajahnya sekelebat daun jatuh menutupinya. Sekejap itu pula sosok lelaki itu lenyap. Ku pandang sekeliling, dan kudapati dia sudah berjalan menjauh dariku. “Hai. Siapakah namamu?” teriakku padanya. Dia acuh. Menjawab atau bahkan menoleh pun juga tidak. Namun tiba-tiba aku terpeleset dan terjatuh kesungai tersebut. Dan. . . .

Akhirnya aku sadar, bahwa semua itu hanya mimpi dalam mimpi. Setelah ku dapati ibuku yang membawa segelas air untuk membangunkanku. Pinka. Pinka. . . itu semua hanya khayalan yang tak akan pernah menjadi nyata.
Kuterbangun dengan sangat malas, mengingat hari ini jadwal kegiatanku sangan padat. Sebenarnya aku ogah-ogahan, namun keadaan yang telah mengatur segalanya. Kuberangkat sekolah dengan wajah yang masih tertekuk. Hah,, hari-hari yang sangat membosankan.
Dengan muka yang masih sangat malas, kuberjalan dengan wajah tertunduk. Tiba-tiba Rea mengagetkanku. “Hai Pinka,, tuh pangeran kamu baru datang.” Kutatap seorang laki-laki sebayaku berjalan membelakangiku. Membawa sebuah gitar kecil yang tak pernah ditinggalkannya. Itulah Gheda, seorang laki-laki dengan tubuh kurus dan kulit sawo matang, rambutnya yang tak pernah tidur membuat aku semakin hafal dengannya. Dialah seseorang yang mampu meluluhkan hatiku. Namun sayang, rasaku ini hanya berat sebelah. Tapi aku tak pernah putus asa, selalu dan selalu kucoba untuk mendekatinya. Meskipun selama ini pekerjaan itu hanya terbuang sia-sia. Mungkin inilah yang disebut pengorbanan.
Malamnya, aku mencoba untuk menghubungi kak Gheda, namun hasilnya tetap nihil. Kubuang Hp ku ke tempat tidur. “Aku benci dengan kau Gheda.” Teriakku bersama dengan turunnya air mata.  ”mengapa harus kau yang ada dalam hatiku? Mungkin semua ini tak akan terjadi jika kita tak bertemu. Lantas sekarang siapa yang harus disalahkan jika aku selalu menangis karenamu?” renungku di bawah kerlipan bintang. Aku kembali meneteskan air mata. Sedih. Sungguh sedih saat itu suasana hatiku.
Hari-hari kulalui dengan tak ada sesuatu yang istimewa. Menyedihkan malah. Dia yang aku inginkan tak pernah sekalipun menoleh kepadaku. Huhuhuhu L aku takut. Aku takut jika hatinya sudah untuk orang lain. Namun, aku juga sadar. Aku hanyalah seorang wanita. Tak mungkin aku menyatakan perasaanku duluan. Aku bingung, sungguh bingung. Apa yang harus ku lakukan?
Akhirnya aku menyerah, aku tak kuat dengan perasaan yang melandaku dengan Tuan Gedha. Aku berusaha untuk tak menyayanginya lagi. Aku berusaha untuk melupakannya? Bisakah kau pinka? Hanya waktu yang dapat menjawab segalanya.
Saat jam olahraga. Tanpa disengaja aku bertemu dengan Gedha. Dia berjalan dengan temannya yang juga merupakan ketua remas di sekolah.   “kak,” sapaku. Gedha hanya tersenyum manis, teramat manis malahJ. . namun si ketua remas payah itu malah menjawab dengan suara lantang. Dasar tolol, bukan kamu yang aku panggil. Karena itu Gedha jadi tersipu malu saat berpapasan denganku lagi di parkiran sepeda siangnya.
Kutermenung di tengah keributran dalam ruang kelas. “Hai pinka. Kenapa kau diam saja?” Tanya Reva temanku. “Ah, tak apa. aku hanya ingin begini.” Jawabku tanpa ekpresi. Mendengar jawabanku yang serasa ingin sendiri, Reva meningalkanku dan bergabung bersama teman-teman lain. aku berpikir, mungkinkan Gedha membalas sms ku kemarin hanya karena tak enak denganku, bukan karena merespon perasaanku? Mungkinkah sudah ada  orang lain yang mengisi hatinya? Berbagai pertanyaan berkecimung jadi satu dalam otakku. Keributan dalam kelaspun tak mampu membuat otakku untuk berhenti memikirkan Gedha. Gedha tahukah kamu??? Bahwa aku sangat, sangat, dan sangat mencintaimu. Siang dan malam ku slalu berdo’a untukmu. Agar kau bisa membalas cintaku. Agar kau bisa menjadi kekasihku.
Berbagai cara kulakukan agar aku bisa melupakanmu. Buang jauh-jauh rasa yang pernah hinggap di hatiku. Namun, sia-sia seberapapun orang yang kupaksa masuk hatiku, kamu.. kamu Gedha. Kamu tetap punya tempat tersendiri di hatiku. Dam tempat itu kupastikan tak akan pernah terjamah oleh orang lain. entah itu Dimas ataupun yang lainnya.
Setahun berlalu perasaan yang berat sebelah itu belum juga mendapati titik terang. Jauhh. Jauh sekali dari harapan. Tak terasa air mataku menetes saat mendengar lagu shela on 7- berhenti berharap. Kasian kamu Pinka. L “aku tak percaya lagi, dengan apa yang kau beri. Aku terdampar disini tersudut menunggu mati. Aku tak percaya lagi akan guna matahari yyang mampu terangi sudut gelap hati ini. Aku berhenti berharap dan menunggu datang gelap, hingga mungkin suatu saat tak ada cinta ku dapat. Mengapa ada derita bila bahagia tercipata mengapa ada sang hitam bila putih menyenangkan....”
Aku bagai bintang yang sangat merindukan bulan. Berharap berharap dan terus berharap. Tuhan ataukah takdirku hany untuk selalu menunggu dan selalu berharap. Aku ingin tertidur, dan disaat aku terbangun nanti aku ingin mendapati bahwa tak ada lagi yang kuharapkan. Tak ada lagi yang harus tersalahkan dan tak ada lagi yang harus tersakiti.
***
Tahun ketiga aku mengenakan seragam putih abu-abu. Perasaan yang setahun berat sebelah ini pun mulai menemui titik terang. Bukan. Bukan karena Gedha berbelok kepadaku, melainkan dia telah bahagia dengan seseorang lain dan tentunya bukan aku. Mungkin aku terlahir untuk menjadi orang penyabar. Aku hanya bisa diam dan berkata. “semoga Gedha bahagia dengannya.”  nyatanya melupakan seseorang yang pernah mengukir namanya di hati kita tak semudah menghafalkan namanya. Dan aku belajar dari sebuah pengalaman bahwa berharap tak selalu berakhir bahagia. Tak sedikit mereka yang patah hati layaknya aku sekarang. Tapi aku masih bangga, masih ada teman yang selalu sayang dan cinta kepadaku. Dan aku tahu itu. Aku dan kamu. Kita tak akan pernah bisa menyatu.

Minggu, 10 Maret 2013

MANUSIA DI TENGAH PERSIMPANGAN




Dia berjalan dan terus berjalan, dia berjalan dengan semua kemauannya. Dia tak pernah berhenti walau hanya untuk sekedar menoleh ke samping. Dia terus dan terus berjalan. Hingga dia menemui sebuah persimpangan. Dia tak menghiraukan persimpangan pertama. Dia masih tetap berjalan lurus dengan kakinya. Dia tak mengenal lelah. Dia selalu merasa bahwa dia selalu bisa. Dan selalu bisa.
Persimpangan kedua dia lewati, lagi-lagi dia tak menoleh sama sekali dengan adanya persimpangan kedua tersebut. Dia kembali terus berjalan lurus. Segala yang ada dalam pikirnya hanyalah segera menemui titik akhir dari segalanya. Tanpa berusaha untuk mengerti keadaan disekitarnya. Persimpangan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya dia lewati selama itu pula dia tak pernah menoleh pada segala keadaan yang dia rasakan. Entah itu lapar, haus, bahkan juga kantuk. Dia menahan segalanya. Menyembunyikannya dan mencoba menahannya sendirian. Dia terus berjalan. Berjalan dan berjalan lurus kedepan.
Hingga mencapai tikungan ke 17 dia berhenti. Dia merasakan segala yang terjadi disekitar persimpangan itu. Dia terdiam ditengah perjalanan, dia termenung. Meresapi segala sesuatu yang telah dia alami selama ini. Dia menangis, dia tertawa bahkan terkadang dia takut. Dia merasakan semuanya tanpa menoleh kearah mana pun. Dia mendongak dan berdoa pada Tuhan, dia berharap Tuhan selalu meridhoi segala yang yang telah dia lalui. Dulu, sekarang dan mungkin kelak.
Dia... dia kembali berjalan. Berjalan lurus, selurus jalanan yang dia lalui. Dia hanya berpikir, kapan jalan ini  akan berakhir? Kapan segala yang dia rasakan akan terungkap di ujung jalan sana? Persimpangan ke 18 mulai terlihat mata. Dia tak bergeming. Dia tetap melanjutkan perjalanannya. Di persimpangan ke 20 dia terdiam sejenak di tengah persimpangan. Dia ragu. Hatinya mulai ingin menoleh ke kanan dan kirinya. Namun raganya berontak. Raga itu tak mau menoleh ke arah mana pun. Raga itu tetap memaksa dia untuk terus berjalan. Lagi-lagi hatinya kalah kuat dengan raganya. Dia masih dan masih terus berjalan.
Puluhan persimpangan dia lewati dan tak satupun yang berhasil dia tengok. Dia masih berjalan lurus menyusuri tiap-tiap langkah yang dia rasakan. Panas, dingin tak dia hiraukan. Angin, badai menjadi teman dalam perjalanannya. Dia... sungguh dia manusia selurus bambu, tekatnya teramat besar. Tanggungjawab untuk menyelesaikan perjalanan ini jauh lebih besar. Dia memimpin hati dan raganya. Tiba di persimpangan ke 37 dia kembali berhenti. Termenung kembali ditengah persimpangan. Mencoba merasakan segala yang ada di dadanya. Hatinya berontak jiwanya marah dan akhirnya dia memutuskan untuk menoleh. 90 derajat kearah kanan dan kiri. Dia pun tersenyum, dia tertawa bahkan dia berteriak dan menangis. Dia menyesal dia teramat menyesal. Dia merasa menjadi orang yang sangat bodoh melibihi semua orang yang telah didahuluinya dalam melakukan perjalanan. Dia merasa sedang dibohongi dengan kehidupannya sendiri. Dia berbalik arah dan duduk di tengah persimpangan itu. Dia menelungkupkan tubuhnya dalam lutut. Menenggelamkan sebagian wajahnya kedalam lingkaran itu. Dia menangis. Dia menyesal, mengapa tak dari dulu dia menoleh bahkan menengok sekelilingnya. Dia melihat banyak orang tertawa bebas di balakangnya. Melihat banyak orang bertubuh gemuk nan sehat di belakangnya. Dia melihat seorang sarjana muda berdiri tegak dibelakangnya bahkan dia melihat orang tuanya melambaikan tangan dan tersenyum kearahnya.
Dia teramat menyesal sekarang. Jalan yang selam ini dia lalui tak pernah memiliki ujung. Jalanan yang selama ini dia lalui akan terasa mudah dengan hadirnya orang-orang terdekatnya. Akan serasa lebih bersemangat jika dia selingi dengan canda dan tawa bersama teman-teman. Akan serasa lebih ringan jika dia selalu memikirkan kesehatannya. Akan terasa lebih dan lebih menyenangkan jika dia mau menoleh dan memperhatikan sekitar. Banyak orang yang selalu perhatian dengan dia. Banyak orang yang selalu mensuportnya. Banyak orang yang selalu mengikutinya. Membantu dimana dia menemukan masalah membantu ketika dia menemukan kebuntuan dan membantu jika dia tak bisa melerai pertengkaran antara raga dan jiwanya. Dia berlari memeluk keluarganya. Teman-temannya berdatangan mengerumuninya. Guru-guru tersenyum kepadanya seolah memberikan semangat untuknya. Dan dia berteriak, berteriak dengan segala tenaga yang dia punya.
Aku menyesal pernah menjadi seseorang yang selalu memandang lurus kedepan, aku menyesal karena aku tak pernah memperhatikan sekitarku selama aku berjalan dan aku lebih menyesal karena aku telah menyianyiakan semua yang mereka berikan padaku.