Dia
berjalan dan terus berjalan, dia berjalan dengan semua kemauannya. Dia tak
pernah berhenti walau hanya untuk sekedar menoleh ke samping. Dia terus dan
terus berjalan. Hingga dia menemui sebuah persimpangan. Dia tak menghiraukan
persimpangan pertama. Dia masih tetap berjalan lurus dengan kakinya. Dia tak
mengenal lelah. Dia selalu merasa bahwa dia selalu bisa. Dan selalu bisa.
Persimpangan
kedua dia lewati, lagi-lagi dia tak menoleh sama sekali dengan adanya
persimpangan kedua tersebut. Dia kembali terus berjalan lurus. Segala yang ada
dalam pikirnya hanyalah segera menemui titik akhir dari segalanya. Tanpa
berusaha untuk mengerti keadaan disekitarnya. Persimpangan ketiga, keempat,
kelima dan seterusnya dia lewati selama itu pula dia tak pernah menoleh pada
segala keadaan yang dia rasakan. Entah itu lapar, haus, bahkan juga kantuk. Dia
menahan segalanya. Menyembunyikannya dan mencoba menahannya sendirian. Dia
terus berjalan. Berjalan dan berjalan lurus kedepan.
Hingga
mencapai tikungan ke 17 dia berhenti. Dia merasakan segala yang terjadi
disekitar persimpangan itu. Dia terdiam ditengah perjalanan, dia termenung.
Meresapi segala sesuatu yang telah dia alami selama ini. Dia menangis, dia
tertawa bahkan terkadang dia takut. Dia merasakan semuanya tanpa menoleh kearah
mana pun. Dia mendongak dan berdoa pada Tuhan, dia berharap Tuhan selalu
meridhoi segala yang yang telah dia lalui. Dulu, sekarang dan mungkin kelak.
Dia...
dia kembali berjalan. Berjalan lurus, selurus jalanan yang dia lalui. Dia hanya
berpikir, kapan jalan ini akan berakhir?
Kapan segala yang dia rasakan akan terungkap di ujung jalan sana? Persimpangan ke
18 mulai terlihat mata. Dia tak bergeming. Dia tetap melanjutkan perjalanannya.
Di persimpangan ke 20 dia terdiam sejenak di tengah persimpangan. Dia ragu.
Hatinya mulai ingin menoleh ke kanan dan kirinya. Namun raganya berontak. Raga
itu tak mau menoleh ke arah mana pun. Raga itu tetap memaksa dia untuk terus
berjalan. Lagi-lagi hatinya kalah kuat dengan raganya. Dia masih dan masih
terus berjalan.
Puluhan
persimpangan dia lewati dan tak satupun yang berhasil dia tengok. Dia masih
berjalan lurus menyusuri tiap-tiap langkah yang dia rasakan. Panas, dingin tak
dia hiraukan. Angin, badai menjadi teman dalam perjalanannya. Dia... sungguh
dia manusia selurus bambu, tekatnya teramat besar. Tanggungjawab untuk
menyelesaikan perjalanan ini jauh lebih besar. Dia memimpin hati dan raganya.
Tiba di persimpangan ke 37 dia kembali berhenti. Termenung kembali ditengah
persimpangan. Mencoba merasakan segala yang ada di dadanya. Hatinya berontak
jiwanya marah dan akhirnya dia memutuskan untuk menoleh. 90 derajat kearah
kanan dan kiri. Dia pun tersenyum, dia tertawa bahkan dia berteriak dan
menangis. Dia menyesal dia teramat menyesal. Dia merasa menjadi orang yang
sangat bodoh melibihi semua orang yang telah didahuluinya dalam melakukan
perjalanan. Dia merasa sedang dibohongi dengan kehidupannya sendiri. Dia berbalik
arah dan duduk di tengah persimpangan itu. Dia menelungkupkan tubuhnya dalam
lutut. Menenggelamkan sebagian wajahnya kedalam lingkaran itu. Dia menangis.
Dia menyesal, mengapa tak dari dulu dia menoleh bahkan menengok sekelilingnya.
Dia melihat banyak orang tertawa bebas di balakangnya. Melihat banyak orang
bertubuh gemuk nan sehat di belakangnya. Dia melihat seorang sarjana muda
berdiri tegak dibelakangnya bahkan dia melihat orang tuanya melambaikan tangan
dan tersenyum kearahnya.
Dia
teramat menyesal sekarang. Jalan yang selam ini dia lalui tak pernah memiliki
ujung. Jalanan yang selama ini dia lalui akan terasa mudah dengan hadirnya
orang-orang terdekatnya. Akan serasa lebih bersemangat jika dia selingi dengan
canda dan tawa bersama teman-teman. Akan serasa lebih ringan jika dia selalu
memikirkan kesehatannya. Akan terasa lebih dan lebih menyenangkan jika dia mau
menoleh dan memperhatikan sekitar. Banyak orang yang selalu perhatian dengan
dia. Banyak orang yang selalu mensuportnya. Banyak orang yang selalu
mengikutinya. Membantu dimana dia menemukan masalah membantu ketika dia
menemukan kebuntuan dan membantu jika dia tak bisa melerai pertengkaran antara
raga dan jiwanya. Dia berlari memeluk keluarganya. Teman-temannya berdatangan
mengerumuninya. Guru-guru tersenyum kepadanya seolah memberikan semangat
untuknya. Dan dia berteriak, berteriak dengan segala tenaga yang dia punya.
Aku
menyesal pernah menjadi seseorang yang selalu memandang lurus kedepan, aku
menyesal karena aku tak pernah memperhatikan sekitarku selama aku berjalan dan
aku lebih menyesal karena aku telah menyianyiakan semua yang mereka berikan
padaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar