Ku terbangun
dalam tidurku. Terdiam di tengah
rerumputan nan luas. Diamanakah aku sekarang?? Apakah aku berada di alam lain?
Mungkin. Ku berjalan menyusuri rerumputan yang menurutku tak punya ujung itu.
Ku tengok sekelilingku. Sepi. Senyap. Tak ada satupun orang disana. Aku takut.
Aku berlari menepi ke sebuah pohon yang hanya satu-satunya di tempat itu.
Sejenak ku terbelalak menatap sesuatu di balik pohon itu. Alangkah tampannya
lelaki di tepi danau itu. Siapakah gerangan? Dia berpakaian putih bersih,
layaknya malaikat yang turun dari langit. Ku dekati sosok lelaki tersebut.
“Hai.” Sapaku. Lelaki itu tak menjawab, hanya menoleh kepadaku. Namun sayang,
saat kucoba memperhatikan wajahnya sekelebat daun jatuh menutupinya. Sekejap itu
pula sosok lelaki itu lenyap. Ku pandang sekeliling, dan kudapati dia sudah
berjalan menjauh dariku. “Hai. Siapakah namamu?” teriakku padanya. Dia acuh.
Menjawab atau bahkan menoleh pun juga tidak. Namun tiba-tiba aku terpeleset dan
terjatuh kesungai tersebut. Dan. . . .
Akhirnya aku
sadar, bahwa semua itu hanya mimpi dalam mimpi. Setelah ku dapati ibuku yang
membawa segelas air untuk membangunkanku. Pinka. Pinka. . . itu semua hanya
khayalan yang tak akan pernah menjadi nyata.
Kuterbangun
dengan sangat malas, mengingat hari ini jadwal kegiatanku sangan padat.
Sebenarnya aku ogah-ogahan, namun keadaan yang telah mengatur segalanya.
Kuberangkat sekolah dengan wajah yang masih tertekuk. Hah,, hari-hari yang
sangat membosankan.
Dengan muka yang
masih sangat malas, kuberjalan dengan wajah tertunduk. Tiba-tiba Rea
mengagetkanku. “Hai Pinka,, tuh pangeran kamu baru datang.” Kutatap seorang
laki-laki sebayaku berjalan membelakangiku. Membawa sebuah gitar kecil yang tak
pernah ditinggalkannya. Itulah Gheda, seorang laki-laki dengan tubuh kurus dan
kulit sawo matang, rambutnya yang tak pernah tidur membuat aku semakin hafal
dengannya. Dialah seseorang yang mampu meluluhkan hatiku. Namun sayang, rasaku
ini hanya berat sebelah. Tapi aku tak pernah putus asa, selalu dan selalu
kucoba untuk mendekatinya. Meskipun selama ini pekerjaan itu hanya terbuang
sia-sia. Mungkin inilah yang disebut pengorbanan.
Malamnya,
aku mencoba untuk menghubungi kak Gheda, namun hasilnya tetap nihil. Kubuang Hp
ku ke tempat tidur. “Aku benci dengan kau Gheda.” Teriakku bersama dengan
turunnya air mata. ”mengapa harus kau
yang ada dalam hatiku? Mungkin semua ini tak akan terjadi jika kita tak
bertemu. Lantas sekarang siapa yang harus disalahkan jika aku selalu menangis
karenamu?” renungku di bawah kerlipan bintang. Aku kembali meneteskan air mata.
Sedih. Sungguh sedih saat itu suasana hatiku.
Hari-hari
kulalui dengan tak ada sesuatu yang istimewa. Menyedihkan malah. Dia yang aku
inginkan tak pernah sekalipun menoleh kepadaku. Huhuhuhu L
aku takut. Aku takut jika hatinya sudah untuk orang lain. Namun, aku juga
sadar. Aku hanyalah seorang wanita. Tak mungkin aku menyatakan perasaanku
duluan. Aku bingung, sungguh bingung. Apa yang harus ku lakukan?
Akhirnya aku
menyerah, aku tak kuat dengan perasaan yang melandaku dengan Tuan Gedha. Aku
berusaha untuk tak menyayanginya lagi. Aku berusaha untuk melupakannya? Bisakah
kau pinka? Hanya waktu yang dapat menjawab segalanya.
Saat jam
olahraga. Tanpa disengaja aku bertemu dengan Gedha. Dia berjalan dengan
temannya yang juga merupakan ketua remas di sekolah. “kak,” sapaku. Gedha hanya tersenyum manis,
teramat manis malahJ. . namun si ketua remas payah itu
malah menjawab dengan suara lantang. Dasar tolol, bukan kamu yang aku panggil.
Karena itu Gedha jadi tersipu malu saat berpapasan denganku lagi di parkiran
sepeda siangnya.
Kutermenung di
tengah keributran dalam ruang kelas. “Hai pinka. Kenapa kau diam saja?” Tanya
Reva temanku. “Ah, tak apa. aku hanya ingin begini.” Jawabku tanpa ekpresi.
Mendengar jawabanku yang serasa ingin sendiri, Reva meningalkanku dan bergabung
bersama teman-teman lain. aku berpikir, mungkinkan Gedha membalas sms ku
kemarin hanya karena tak enak denganku, bukan karena merespon perasaanku?
Mungkinkah sudah ada orang lain yang mengisi
hatinya? Berbagai pertanyaan berkecimung jadi satu dalam otakku. Keributan
dalam kelaspun tak mampu membuat otakku untuk berhenti memikirkan Gedha. Gedha
tahukah kamu??? Bahwa aku sangat, sangat, dan sangat mencintaimu. Siang dan
malam ku slalu berdo’a untukmu. Agar kau bisa membalas cintaku. Agar kau bisa
menjadi kekasihku.
Berbagai cara
kulakukan agar aku bisa melupakanmu. Buang jauh-jauh rasa yang pernah hinggap
di hatiku. Namun, sia-sia seberapapun orang yang kupaksa masuk hatiku, kamu..
kamu Gedha. Kamu tetap punya tempat tersendiri di hatiku. Dam tempat itu
kupastikan tak akan pernah terjamah oleh orang lain. entah itu Dimas ataupun
yang lainnya.
Setahun berlalu
perasaan yang berat sebelah itu belum juga mendapati titik terang. Jauhh. Jauh
sekali dari harapan. Tak terasa air mataku menetes saat mendengar lagu shela on
7- berhenti berharap. Kasian kamu Pinka. L
“aku tak percaya lagi, dengan apa yang kau beri. Aku terdampar disini tersudut
menunggu mati. Aku tak percaya lagi akan guna matahari yyang mampu terangi
sudut gelap hati ini. Aku berhenti berharap dan menunggu datang gelap, hingga mungkin suatu saat tak ada cinta ku dapat. Mengapa
ada derita bila bahagia tercipata mengapa ada sang hitam bila putih
menyenangkan....”
Aku
bagai bintang yang sangat merindukan bulan. Berharap berharap dan terus
berharap. Tuhan ataukah takdirku hany untuk selalu menunggu dan selalu
berharap. Aku ingin tertidur, dan disaat aku terbangun nanti aku ingin
mendapati bahwa tak ada lagi yang kuharapkan. Tak ada lagi yang harus
tersalahkan dan tak ada lagi yang harus tersakiti.
***
Tahun
ketiga aku mengenakan seragam putih abu-abu. Perasaan yang setahun berat
sebelah ini pun mulai menemui titik terang. Bukan. Bukan karena Gedha berbelok
kepadaku, melainkan dia telah bahagia dengan seseorang lain dan tentunya bukan
aku. Mungkin aku terlahir untuk menjadi orang penyabar. Aku hanya bisa diam dan
berkata. “semoga Gedha bahagia dengannya.” nyatanya melupakan seseorang yang pernah mengukir
namanya di hati kita tak semudah menghafalkan namanya. Dan aku belajar dari
sebuah pengalaman bahwa berharap tak selalu berakhir bahagia. Tak sedikit
mereka yang patah hati layaknya aku sekarang. Tapi aku masih bangga, masih ada
teman yang selalu sayang dan cinta kepadaku. Dan aku tahu itu. Aku dan kamu.
Kita tak akan pernah bisa menyatu.